Mari membuat tempat bermain

Kami bertiga, saya suami dan adik rencananya akan naik pesawat dari Pekanbaru-Jakarta- lalu dari Jakarta kami akan naik kereta ke Jogja. Pertimbangan utamanya karena hemat, selain juga pengen jalan jalan di Jakarta.

Hari itu pas 17 Agustus 2008, dari bandara kami berencana menunju wisma untuk transit karena tidak mungkin jalan jalan dengan bawaan tas koper besar. Untuk menuju wisma, kami naik taksi dari Gambir setelah turun dari Damri Bandara. Kami pikir, ah sudahlah naik taksi saja toh cuma berapa karena wisma yg biasa kami tempati itu jaraknya tak jauh dari stasiun KA Gambir.

Taksi melaju dengan tenangnya, wah nikmat sekali jalan di Jakarta kalo lagi libur gini, pikirku. Jalanan tidak macet dan kanan kiri tidak banyak dijumpai pedagang kaki lima yang semrawut. Lumayan, perjalanan lancar di jalan jalan utamanya. Saya sempat berucap sama sopir taksi Blue Bird itu, “wah kalo jalannya enak gini…. mau lah tinggal di Jakarta!”. Suami tersenyum saja, “Ah… yg benar katanya?”.

Tak sampai lima menit dari saya iseng bicara taksi berbelok ke arah gang kecil dari jalan utama di daerah Kramat Sentiong. Belum lagi ada 500 meter, terlihat sekerumunan warga turun ke jalan. Apa yang mereka lakukan? Salah satu dari mereka memberikan kode untuk berbalik. Beberapa juga menunjukkan gesture tidak ramah dan meminta taksi kami berputar. Rupanya di depan kami ada juga satu inova yang terseok seok mencari tempat atret putar. Ada juga bajai butut yang di dorong mundur. Kasihan sekali. Tak ada satu mata pun yang menyorotkan permintaan maaf atas ditutupnya jalan itu.

Hati mendongkol, padahal wisma sudah tidak jauh dari tempat itu. Sopir tidak hilang akal dia bilang, “coba kita lewat jalan lain ya pak” katanya ditujukan ke suamiku. Satu jalan lain tidak bisa lagi dilewati, lalu kami berputar jauh lagi ke jalan utama belok kanan, eh… jalan ditutup lagi. Kami lanjutkan sampai kami masuk dalam gang gang sempit gak karuan tetap saja warga menutup jalan dan tidak memberikan sedikit saja ruang untuk lalu lintas supaya lancar. Ada enam jalan alternatif yang kami coba tembus, namun tetap saja warga dengan tanpa permintaan maaf ke menutup begitu saja jalan. Geram dan bete banget…

Kami berputar lagi, kembali ke jalan semula dan memutuskan untuk jalan kaki saja melewati kerumunan warga itu sambil membawa tas tentengan, koper dan kardus berisi oleh oleh menuju wisma itu. Keringat bercucuran dalam terik matahari panas itu. Lebih bete nya karena kami harus membayar hampir 4 kali lipat ongkos taksi.  Hampir saja saya marah marah. Tapi bagaimana saya berani marah, sama saja seperti mentimun ketemu durian saya tetap kalah. Mereka warga kan banyak juga sedang kami cuma bertiga… he…he…

Setelah sampai di wisma barulah saya mulai tenang dan bisa berfikir. Iya, hari ini 17 agustus, seluruh warga tumpah ruah ke jalan untuk merayakan hari kemerdekaan. Ada yang mengarak ondel ondel, ada yang bermain futsal, ada yang membuat panggung pentas seni, ada pula yang mengadakan perlombaan ala tujuh belasan. Hal itu sih oke oke aja, wajar dan boleh lah…, kapan lagi kan cuma sekali setahun. Ups… tp tunggu.., ada pertanyaan yang mengganjal pula , kenapa harus di jalan?

tutup jalan

Apakah benar benar tidak ada tempat dan lahan yang pas bisa diperuntukkan untuk kegiatan ini? Apakah benar benar kita ini miskin akan space untuk bermain, berkumpul dan bersosialisasi?

Salah satu jalan yang ditutup yang di gunakan untuk futsal

Sebuah komunitas tentunya memerlukan space untuk bersosialisasi. Di tulisan yang terdahulu (Dimana tempat bermainku) sempat saya singgung tentang perlunya tempat bermain untuk anak anak. Hal ini penting sebagai arena mereka untuk mengekspresikan diri, selain baik secara fisik dan kesehatan area bermain juga sangat penting dari sisi psikologis. Seorang anak yang tidak pernah bermain dalam alam terbuka memiliki kecenderungan inferior dan tertutup. Nah, seperti nampak di gambar, ternyata orang dewasapun juga haus akan ruang bermain. Namun sayang sekali, hal ini belum begitu disadari oleh kaum dewasa baik masyarakat maupun pemerintah sendiri sebagai institusi yang memiliki kekuasaan dalam perencanaan penggunaan lahan.

Saya pernah menjadi panitia tujuh belasan di kampung. Memang tak ada ruang yang benar benar pas bisa dipake untuk acara. Satu satunya pilihan kami hanyalah menutup jalan.

Kebutuhan masyarakat akan tempat bermain dirasa memang sangat urgent. Bagaimana kita bisa memperjuangkan untuk memperolehnya? Saya yakin sebenarnya masyarakat memiliki power untuk membangun tempat bermain. Saya katakan “power” karena hal ini bukan hanya mendesak pemerintah untuk menyediakan prasarana publik yang satu ini namun juga sesungguhnya masyarakat mampu melakukannya melalui partnership.

Telah banyak contoh di beberapa negara maju adanya tempat bermain dengan murni inisiatif dari masyarakat. Salah satunya adalah Kamalani Community di Hawaii. Tidak main main, masyarakat sendirilah yang mengusahakan dan membuat play ground ini. Mereka bekerja bersama sama mulai dari pelajarnya, mahasiswa, orangtua, para guru, administrasi sekolah, dan para architect (yg tentunya warga). Mereka berkolaborasi mulai dari membuat proposal, mendisaign, melakukan survey, membangunya dengan bekerja bakti dan monitoring penggunaannya. Dana untuk membangun play ground tersebut berasal dari donatur. Manis sekali tentunya, jika hal ini bisa menular sampai di Indonesia.

Kuncinya, harus ada yang berinisiatif. Harus pula adanya kesadaran kolektif bahwa play ground itu perlu. Ini bukan sebuah kemewahan yang hanya dimiliki oleh perumahan elitis saja. Namun bermain adalah hak semua orang dan ruang bermain adalah juga hak semua warga.

Gambar salah satu play ground di Hawaii

Salam

Erda

Satu komentar pada “Mari membuat tempat bermain”

Tinggalkan Balasan ke Ninik Batalkan balasan