Malaikat itu si penjual helm

Pagi yang cerah di hari minggu. Matahari senyum senyum manis di ufuk timur. Membuatku ingin jalan jalan. Aku ajak suami jalan dengan naik sepeda motor. Sudah lama rasanya tidak boncengan berdua seperti waktu pacaran dulu. 🙂

Kami pergi ke toko reparasi laptop untuk membetulkan beberapa kerusakan kecil di laptop. Setelah itu kami makan bakso granat yang super besar. Kenyang… Saat makan bakso, kami melihat di depan kios bakso ada gerai helm, kaca mata, dan gerai kaos tangan di emperan.

Kita berfikir untuk mengganti kaca helm yang sudah burek.. tak jelas jika digunakan melihat kedepan.

Si mas penjualnya pun dengan santun melayani kami.

Aku iseng bertanya, “helmnya yang ini berapa mas?’

dia jawab, “sembian puluh ribu mbak’ sambil membetulkan kaca helm pesanan kami.

“kalau tujuh puluh boleh gak?” tanyaku, sebenarnya gak mau beli, tp kalau dikasih 70 ribu, kenapa tidak.

“wah.. maaf, belum bisa” katanya sopan.

Suamiku beda lagi. Ia lebih tertarik pada sejuntai kaos tangan tanpa jari hanya punggung2 tangan saja.

“kalau ini berapa mas?” tanyanya pada si mas penjual helm

“itu 15 ribu mas.” jawabnya masih dengan nada sopan. Kami duduk di bangku reyot yang pakunya sudah hampir keluar karena lelah menopang kami yang gemuk gemuk. Tak berapa lama, ia selesai melayani order kami. Memuaskan. Kaca terpasang baik, jelas dan cling.. bersih. Kamipun membayar 15 rb sebagai harga yang disepakati.

 

Laki laki itu sempat bicara “helmnya jadi gak mbak? tujuh puluh boleh tapi helmnya mbak ditinggal.”

ia senyum mencoba bercanda dengan pelanggan barunya.

dengan nada bercanda akupun menjawab “ah… enakkan kamu dong’.

 

Kami berlalu dan saling mengucapkan terimakasih.

Diatas roda kami pulang menuju rumah. Seperti biasa semua berjalan baik, sampai akhirnya di malam hari ketika hendak menyiapkan materi untuk kerja besok pagi, kami tersentak, ingat bahwa tas dan laptop tertinggal di gerai helm di pinggir jalan. panik menggerayangi diri. Dengan motor kami segera menuju gerai itu lagi, tp sayang sudah tutup.

 

Tak tau mesti bagaimana, penjual nasi goreng di sebelahnyapun tak tau rumahnya, bahkan namanya.

Ah… kami benar benar mengutuki diri. bagaimana bisa laptop tertinggal. Kami coba terus bertanya ke kanan ke kiri dari gerai non permanen itu. ah.. tak ada yang tahu. Geram… sedih.. sekaligus marah… tp marah dg siapa.

Laptop itu MacBook dibeli di Hawaii untuk kenang2an, tas berisi external hardisk, kamera, dan voice recorder yang berisi rekaman international conference dan belum di transfer….. seluruh peralatan lengkap untuk peneliti. Bukan pula murah untuk kantongku. Andaikata si mas penjual helm itu menjualnya, ia tak perlu dagang helm lagi satu tahun. ahhhh…

 

Malam hari tak ada yang bisa tidur. Detik demi detik berlalu menunggu pagi. Pikiran berkecamuk. Bagaimana jika ia mengaku tidak melihat atau bahkan ia benar benar tidak melihat. Bagaimana bila orang lain datang membeli helm dan membawa tas itu. atau bgmn jika ada orang iseng mengambilnya.  Oh.. silih berganti pikiran negatif bertubi tubi.

Jam enam pagi, dengan seteguk air putih, kami tancap gas menuju gerai helm. Belum buka. Ahh…lama kami duduk, sampai jam 7. dipinggir jalan berdebu dan kotor. Warung kecil sudah buka, suamiku tak menunggu lama, ia menuju kesana dan bertanya tentang si penjual helm.

Penjaga warung kecil itu mengatakan rumahnya Mantup, sekitar satu kilo dari kios itu. namanya Antok. dengan modal dua informasi itu kami melaju ke Desa Mantup. Bertanya kesana kemari, tak banyak yang tahu. sampai akhirnya satu orang mengatakan “kalau Antok penjual helm bukan disini rumahnya, tapi di Desa Salakan.”

Tanpa berfikir panjang, kami melaju ke desa salakan. Sempat nyasar di desa desa lainnya. Menyusuri gang demi gang dan jalan persawahan. Keluar masuk bertanya orang, tak ada yang tahu Antok. Seorang penjual kelontong mengatakan.

“Antok ya…? masih muda? .. mungkin anak yang sebelah itu, namanya juga Antok, dia juga masih muda. Tapi kalau jualan helm, wah saya gak tahu.”

Kami mengucapkan terimakasih dan langsung menuju ke rumah yang ditunjuk penjual kelontong itu.

Rumah yang baru dibangun, belum di cat dan bersih. Ku ketuk pintunya pagi pagi, seorang laki laki tua keluar dari rumah.

“Cari siapa ya?”

“Maaf pak, saya nyari mas Antok’

“Antok siapa ya? Anak saya namanya Anto.”

“Iya, itu Pak.. yang jualan helm.” jawabku dengan PD dan lantang

“Jualan helm??” Bapak itu bertanya dengan alis naik, sampai sampai alisnya seperti minta cuti.

 

Ia bersungut sungut masuk ke dalam, memanggil anaknya yang bernama Anto. Si anak keluar. Ah…… tak disangka, anak itu adalah anak SMA sudah berpakaian seragam dan hendak masuk sekolah.

Mereka berdua keluar, si anak merasa dihakimi “Saya gak jualan helm kok…..”

Ampuuun seribu ampun. Ternyata bukan dia. Malu bukan kepalang. Aku sudah membuat anak dan bapak ini beradu mulut. Aku pamit dan bertubi tubi aku minta maaf karena salah.

Kami tak putus asa, dengan mental seorang detektif, kami merasa tertantang untuk mengobok obok desa Salakan menemukan orang yang bernama Antok itu. Ah… kami ini kan master master, yang satu master geografi yang satu master perencaan desa kota, masak menemukan satu orang di satu desa saja tidak bisa, pikir kami yang sok sokan.

Kami telurusi jalanan kampung, baru tau jika ban motor hampir kempes. Kami mampir di sebuah tempat memompa angin. Kusiapkan 1000 rupiah untuk membayar.

Tak kami sia siakan, kami bertanya pada si Bapak tukang pompa

“Pak, disini ada yang namanya Antok? penjual helm?’

si bapak yang bajunya kumal penuh oli, mungkin itu baju dinasnya, menjawab “Wah.. Antok yang jualan heml itu adik saya…”

Ah… kami lega setengah mati.

“Bisa minta nomer telp nya pak? atau rumahnya?” tanya suamiku

Ia lalu berhuyung huyung masuk mengambil hand phone. Ia coba telp adiknya… lama tak diangkat. Sambil menunggu diangkat ia bercerita. Ia duduk di bangku karet yang sudah usang dan menghitam sisa oli.

“Adik saya itu sukses menjual helm ke mana mana, ia jalan dengan mobil box nya keliling Jogja. Ia sudah di percaya untuk menjadi distributor.”

Apa.. ???? distributor??? Kami setengah ragu. Bukankah Antok yang kucari ini penjual helm bijian dan membuka gerai di bahu jalan. Bau baunyaa.. bukan.

Tapi kami hanya main mata, suamiku tak berani bilang tidak. Kami diam menunggu seseorang diujung telp mengangkatnya.

“Hallooo.. Tok… iki ono sing nggoleki.”

hatiku berbunga… lalu layu lagi saat dia bertanya pada adiknya di telpon, “Ada orang yang ketinggalan barang di kiosmu, kamu buka kios po?”

Ia diam. lalu mengangguk. lalu melihat ke kami berdua yang terpekur kaku. Ia lalu menutup telpnya.

“Wah bukan mas, … Antok adik saya itu orangnya sukses kok, gak mungkin dia buat gerai di pinggir jalan..” begitu ungkapnya.

Kami mencoba tersenyum. Dalam hati..”ah;… siapa pula yang bilang adik bapak tidak sukses…. kami kan hanya bertanya… ”

Kami pamit, dengan memasang senyum sekuat kuatnya. Si bapak sederhana itu pun melambaikan tangan tanda tak marah. Lega.

Tak tau lagi mau kemana, jam sudah menunjukkan pukul 08.15, kami lapar. belum sarapan. Tapi naluri detektif kami menahan untuk makan. Kami segera melaju ke gerai di pinggir jalan menunggu dag dig dug si Antok itu datang.

 

Diam.. tak bersuara. Kami larut dalam pikiran masing masing. Sampai dipecahkan oleh seorang gila tak berbusana yang berjalan lenggak lenggok di depan kami. Aku menunduk.. OMG dia laki laki.. tanpa busana.. u can imagine…. how disgusting…

Bau yang tidak sedap, ku tahan semampuku. Demi laptop tersayang dan seluruh hasil kerjaku disitu.

Tak berapa lama si Antok datang, dengan sepeda motor tua yang sudah penuh stiker norak. Matanya mata bangun tidur, rambutnya yang masih basah habis mandi acak acakan saat helmnya di lepas. Si Antok kurus itu, pagi ini berwajah berbeda….Ah…. ia kelihatan bercahaya di mataku yang sudah hampir putus asa. Ia keliatan seperti malaikat dengan jubah kebesaran dan sayap turun dari mendung mendung bertajuk pelangi. Ia seperti pangeran penunggang kuda dengan baju kesatria dan membawa pedang ke medan perang…

Sekejab bayangan itu hilang…, saat ia senyum. Giginya menghancurkan segala lamunan…

Ia turun dari motor, tersenyum senyum….

“Anu… belum buka nih mas…” katanya santun dan merasa tak enak sudah ditunggu

Ah… aku tahu kalau belum buka, dari tadi kami disini.. pikirku.

Suamiku lalu bertanya,

“Mas, lihat tas rangsel warna hitam yang ketinggalan di sini kemarin gak?”

“Oh… itu tas njenengan to..?” Ia mengatakan dengan tenang.

 

Lalu ia ambil kunci. Ada sebuah kotak setinggi manusia, yang ia buka dengan kunci gembok dan rantai. Dengan sekali klik.. terbuka. Ia keluarkan beberapa kardus helm. Lalu beberapa tas plastik dan terakhir,

Ia ambil tas kami dari dalam kotak kayu usang dan berayap di pinggir jalan itu. Ia serahkan dengan senyum.

Ah….. puluhan galon air rasanya menyiram hati dan sanubariku… sejuk… sukur tak terperi.

Jadi laptopku menginap satu malam di pinggir jalan berdebu, pinggir jalan yang dilewati orang gila lalu lalang…….

Sungguh jahat aku menuduhnya yang tidak tidak, menuduhnya menjual laptopku, menuduhnya tak akan jualan lagi. Ah… aku menyesal dan malu dengannya….. Dia yang sederhana, dengan pikiran yang sederhana. Dia seorang lugu yang tak terfikir untuk membuka apa isi dari tas itu.

“Dibuka saja isinya mas, saya gak tau punya siapa, ya .. saya simpan saja di kotak.”

Aku bergegas membuka tas.. semuanya masih rapi, persis sama.. tak ada yang hilang.

Aku dan suami saling pandang, kami tersenyum rasanya malu tidak karuan.

Penjual helm itu kemudian meminta ijin untuk menggelar gerainya. Kamipun meminta ijin pulang dan mengucapkan terimakasih.

 

*** End ***

2 tanggapan untuk “Malaikat itu si penjual helm”

Tinggalkan Balasan ke erdha Batalkan balasan